Minggu, 24 Februari 2008

Service for Us = Service from Us


Dua minggu yang lalu, sepulang kerja mobil saya mogok. Tuas giginya tidak mau bergerak, praktis tidak bisa jalan kemana-mana. Mana pas ditengah jalanan mau jemput istri dulu sebelum pulang. Antara tidak pede dan sedikit khawatir, karena untuk urusan mesin sepertinya saya gak pernah lulus ujian. Bener-bener user sejati.

Inilah rentetan scene yang saya alami setelah start mogok.
  1. Setelah menenangkan diri di mobil sejenak (istighfar) sambil sekilas mendengar teriakan "huuu..." dari sebuah angkot. Saya mematikan mobil dan bismillah mendorong mobil ke pinggir dari sisi kanan setir, sendiri lho. Tapi kok kuat ya... Tak lama, lari seorang security disekitar situ, tanpa kenalan segera bantu saya mendorong. bahkan dia membantu sampai mobil saya berada di posisi paling nyaman. Sebelum sempat berterima kasih, security tersebut sudah hilang, tidak tahu bergerak kemana (mulia sekali saya pikir..)
  2. Saya coba menghubungi telepon beberapa rekan (sedikit miris juga, katrena HP low bat.) untuk mencoba improvisasi P3K. Walaupun akhirnya, tujuan telepon saya adalah driver kantor yang kebetulan nginap di kantor. Dengan segala keihklasannya, dia membawa pick up untuk menderek mobil saya ke kantor (jaraknya lebih dekat, dibanding ke rumah. Selain itu juga, ada bengkel yang saya pikir bisa membantu.).
  3. Sesampai di kantor, orang-orang di kantor, dengan sukarela membantu mendorong mobil, sampai ke parkiran yang lokasinya lebih tinggi dari jalan. Dan esok paginya bengkel yang saya maksud siap membantu (atas informasi driver kantor tersebut)
  4. Hari pertama di bengkel, masalah selesai. Tapi begitu saya bawa pulang, rem-nya kok tambah nge-blong. Akhirnya, driver menyarankan untuk men-servisnya lagi di bengkel tersebut.
  5. Hari kedua di bengkel, rem-nya tidak selesai. Malah katanya, master rem yang mereka ganti tiga bulan sebelumnya harus diganti..(ow ow..). Dan mobilpun harus menginap dua malam. Malam pertama, tawar-tawaran (walaupun akhirnya, saya bayar sesuai harga tanpa discount)
  6. Karena saya keburu BT, mobil saya bawa pulang (pas hari itu, saya kena vertigo).
  7. Sesampai di rumah, mobil kotor sekali bekas di bengkel. Dan yang paling berkesan adalah jok kursi robek, bekas gigitan tikus (plus baunya yang khas......)

Tadinya pengen ngedumel terus, tapi kok capek. Akhirnya, saya coba berpikir terbalik. Kenapa ini menimpa saya (saya coba lakukan beberapa evaluasi perjalanan hidup saya ke belakang , dan apa yang akan mereka (orang-orang yang menolong saya) alami di masa datang.

Hanya Alloh SWT yang tahu.....

Andaikan saja, saya bisa mencatat.

Subhanalloh....

Promosi No, Progaji Yes

Buat kelompok orang yang masih menjadi pekerja (karyawan), "Promosi" atau kenaikan golongan (bukan posisi/jabatan lho..) tentulah menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Karena itu adalah representasi dari sebuah prestasi dan kerja keras. Saya membayangkan, tentulah hanya orang-orang unggul dan layak saja yang pantas untuk mendapatkannya. Jadi, sudah sepertinya wajar-wajar saja ketika orang yang mendapat promosi sangat senang hatinya. Bayangan akan "keuntungan dan kelebihan" terpampang di pelupuk mata.

Namun, sedikit menelaah proses promosi di sebuah perusahaan. Hal ini justru sangat dihindari dan bahkan kalau bisa jangan pernah ada. Saya sendiri sedikit "nyengir", karena kok aneh ya?.
Ternyata ada alasan yang membuat issue ini berkembang, dan salah satunya adalah "promosi tidak berbanding lurus dengan keuntungan/kelebihan". Bahkan sebagian karyawan (kalau boleh memilih), lebih baik gaji naik dari pada golongan yang naik. Bahkan ketika masa promosi tiba, kebanyakkan berharap gajinya saja yang naik, tapi golongan nya jangan. Masuk akal sih dengan kondisi yang telah ditulis di atas. Saya berpositif thinking saja, berarti karyawannya sudah tahu arti tanggung jawab. Artinya, dengan promosi berarti bukanlah keuntungan/kelebihan yang dibayangkan, akan tetapi beban kepercayaan yang lebih penting.

Nah, masalahnya adalah siapa yang harus mengatur keuntungan/kelebihan dan siapa yang harus mengatur beban kepercayaan. Pastilah butuh kerja sama antara pemberi promosi dan dan yang mendapat promosi. Aura proses keduanya akan dirasakan oleh lingkungan dimana mereka bekerja. Jangan sampai, promosi yang seharusnya menjadi hadiah berubah menjadi musibah......
Akan lebih baik, jika hadiah promosi yang diberikan menjadi bentuk ujian.....sepertinya sih akan lebih baik aura yang ditimbulkannya.

Apakah ini berlaku bagi semua orang? Saya masih mencari jawabannya.
Piss...

Rabu, 06 Februari 2008

Penting = Tidak Penting


Dari sedikit kisah interaksi yang saya alami dengan lingkungan sekitar saya, ternyata saya berani mengambil kesimpulan bahwa kata-kata "penting", "hebat", "sukses" dan sejenisnya itu akan ada hanya karena munculnya kata-kata "tidak penting", "tidak hebat", "tidak sukses" dan keluarganya.

Dua kisah yang kontradiktif akan coba saya ceritakan.

Kisah pertama:
Saat saya masih sekolah (SD, SMP dan SMA), yang namanya ekstrakurikuler pada masa itu seperti Pramuka, Dokter kecil, OSIS, PMR, Paskibra Sanggar seni sampai Remaja mesjid adalah sesuatu yang sering dihindari oleh banyak murid dan juga orang tua. Selain kalah hebat promosinya dibanding Si Pintar "Bintang Pelajar", para orang tua juga sedikit ngeri kalau harus keluar-keluar biaya yang dinilai tidak ada hubungannya dengan membaguskan nilai raport.
Bisa dikatakan menjadi sesuatu yang tidak penting begitu.

Namun demikian, muncul juga dari hal-hal yang tidak penting ini "murid-murid penting" yang akan dielu-elukan kalau bisa mengharumkan sekolah. Tapi kalau tidak ya...keep silent saja, kata mas thukul.....

Kisah kedua:
Pada lingkungan kerja, baik di swasta maupun pemerintah atau bahkan yayasan sosial sekalipun. Biasanya, tidak jarang yang namanya kompetensi setiap karyawan harus dimunculkan. Karena kan harus "show off", demi prestasi kerja. Mungkin untuk yang selevel sih tidak masalah, justru akan menjadi kompetisi yang bagus.
Nah masalahnya, kalau sang bos juga ikut-ikutan berlomba pada level bawahannya.
Misalnya, bisa jadi karena dia bingung memposisikan diri atau justru sedikit grogi dengan "ancaman" bawahan-bawahannya.
Ya, akhirnya terjun jugalah dia ke dunia bawahannya. Terkadang dengan mengusung konsep-konsep alias pemikiran-pemikiran yang serba membayang atau malah asyik kalau dia pun berpeluh-peluh mengganti pekerjaan anak buahnya.
Akibatnya, sang bawahan pun lama-lama merasa "tersaingi".

Artinya, pada saat bawahan pun ingin "membuat dirinya penting", kok malah mengancam "penting" nya bos.
Nah, bisa dibayangkan bagaimana kondisi lingkungan kerja seperti itu.

Pada kisah kedua ini, saya kok merasa. Biar saya menjadi "penting" dimata bos, maka saya harus menjadi "tidak penting". Sehingga pastilah bos yang akan menjadi penting.


Penutup:
Jadi, ketika kita merasa "diri kita tidak dipentingkan", maka jangan gundah. Karena pada saat itulah kita menjadi sesuatu yang sangat penting buat orang lain.

Tinggalah kita,..siap untuk menjadi tidak penting?


NB:
Kawan saya bilang, memang roda itu berputar...tapi biar cepet....kita harus yang memutar roda tersebut.